Senin, 05 Desember 2011

Pembuatan Briket dari cangkang Kakao dengan menggunakan perekat tapioka

ABSTRAK

Indonesia mempunyai potensi energi biomassa yang cukup besar termasuk limbah pertanian. Biomassa berupa limbah pertanian dapat digunakan secara langsung sebagai sumber energi panas atau bahan bakar.  Salah satu biomassa dari limbah pertanian adalah cangkang kakao dan sampah organik yang diduga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biobriket. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat pengaruh komposisi biobriket yang terdiri dari dari (1) komposisi campuran biomassa dengan variasi  50:50, 75:25, dan 90:10% dan (2) komposisi campuran biomassa dan perekat dengan variasi 90:10, 80:20 dan 70:30%. Bahan baku biomassa cangkang kakao dan sampah organik diperoleh dari Desa Saree, Kabupaten Aceh Besar. Metode yang digunakan untuk membuat biobriket dari biomassa tersebut adalah menggunakan metode tanpa proses karbonisasi. Parameter uji untuk mengetahui kualitas briket yang dihasilkan adalah uji nilai kalor, uji kuat tekan dan uji Index Shatter.

Kata kunci: biomassa, sampah organik, cangkang kakao, biobriket



BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Terobosan terbaru untuk mencengah terjadinya krisis energi bahan bakar perlu dilakukan mengingat kecendrungan kebutuhan energi nasional akan terus meningkat, sedangkan cadangan energi nasional dari bahan bakar minyak semakin menipis. Salah satu terobosan baru dalam pemecahan masalah ketergantungan energi dari bahan bakar minyak adalah dengan pemanfaatkan dan pengembangan sumber energi berbasiskan biomassa.
Biomassa merupakan sumber energi utama ketiga terbesar di dunia, setelah minyak dan batu bara (Bapat dkk, 1997). Sampai saat ini, biomassa masih merupakan sumber energi bagi lebih dari separuh penduduk dunia dan dapat memasok energi setara dengan 1250 juta ton minyak atau sekitar  14% dari konsumsi energi dunia (Purohit dkk, 2006). Oleh karena itu, pemanfaatan biomassa sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil merupakan salah satu pilihan pengembangan mekanisme bersih (clean develoment mechanism, CDM) untuk mengurangi emisi karbon ke atmosfer.
 Indonesia khususnya Aceh mempunyai potensi energi biomassa yang cukup besar termasuk limbah pertanian. Biomassa dapat berupa sisa kayu, sampah organik, bongkol jangung, jerami, cangkang sawit maupun sisa proses produk pertanian. Menurut Widarto dan Suryanta (1995), biomassa berupa limbah pertanian dapat digunakan secara langsung sebagai sumber energi panas atau bahan bakar karena biomassa tersebut mengandung energi yang dihasilkan dalam proses fotosintesis saat tumbuhan tersebut masih hidup. Bahan bakar yang akan dihasilkan dari biomassa ini adalah bahan bakar yang berwujud padat dan berasal dari sisa-sisa bahan organik yang telah mengalami proses pemampatan dengan daya tekan tertentu dan dikenal dengan nama biobriket.
Biomassa dari limbah pertanian, antara lain:  sekam padi, limbah perkebunan  sawit (cangkang sawit, tandan sawit, pelepah sawit, dan serabut), cangkang kakao, cangkang kelapa, jerami, kayu, dan lain-lain. Dalam penelitian ini, sumber energi biomassa yang diteliti  adalah biomassa dari cangkang kakao dan sampah organik. Cangkang kakao merupakan limbah hasil perkebunan rakyat yang belum termanfaatkan sepenuhnya, padahal cangkang kakao merupakan biomasa yang memiliki potensi cukup besar untuk menghasilkan energi pengganti minyak bumi yang diolah menjadi briket dengan nilai kalor yang relatif besar (4060 kal/gram) dan cocok digunakan sebagai penganti bahan bakar skala rumah tangga. Sedangkan sampah organik terdiri dari bahan-bahan yang dapat terurai secara alamiah/biologis. Sampah organik yang terdapat di alam dan masih belum terolah dengan maksimal dapat  menjadi pencemar lingkungan. Contoh sampah organik yang dapat diolah antara lain daun-daunan yang kering, kulit pisang, bongkol jagung, dan lain-lain.
Untuk menghasilkan bioenergi dari biomassa, teknologi biobriket memberikan peranan yang  cukup besar terhadap tingkat kemudahan dalam penggunaan sumber energi ini. Pembriketan biomassa adalah proses penggumpalan butiran-butiran kecil dengan atau tanpa bahan perekat dalam bentuk, ukuran, serta sifat-sifat tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan mutu dan daya guna biomassa sehingga tidak berasap dan berbau, juga mudah dipakai (Rustina, 1987).
Syamsiro dan Harwin (2007) melakukan study pembuatan briket dengan meninjau pengaruh temperatur udara preheat terhadap pengurangan massa dan laju pembakaran. Sedangkan  Munir, dkk (2010) meneliti tentang eksperimental karakteristik biobriket dengan bahan baku dari limbah cangkang kakao yang terdapat di Sumatra Barat dalam penelitian ini variable yang ditinjau merupakan tekstur dan bentuk briket terhadap laju pembakaran. Sebelumnya Subroto  (2006) juga telah melakukan penelitian  karakteristik pembakaran biobriket campuran batubara, ampas tebu, dan jerami dengan membandingkan komposisi batubara untuk melihat pengaruh laju pembakaran dan emisi polutan yang dihasilkan dari pembakaran. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan komposisi biomassa mempunyai peranan penting dalam pembuatan biobriket sama halnya dengan perbandingan komposisi perekat yang akan dicampurkan dengan biomassa. Melihat peranan perekat penting dalam pembuatan biobriket maka perlu dilakukan penelitian untuk pengaruh komposisi cangkang kakao dan komposisi perekat terhadap laju  pembakaran yang akan dihasilkan oleh biobriket



1.2.  Perumusan Masalah
Dari berbagai macam biomassa yang bisa dijadikan biobriket seperti jerami, cangkang sawit, sampah, dan lain-lain. Cangkang kakao dan sampah organik merupakan biomassa yang belum luas penggunaannya sehingga pemanfaatan biomassa tersebut  untuk pembuatan biobriket memberikan solusi untuk pengganti bahan bakar alternatif.  Dalam pembuatan biobriket komposisi biomassa dan perekat diduga mempengaruhi laju pembakaran, nilai kalor yang dihasilkan dan kekuatan dari biobriket yang terbentuk. Dari uraian  latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, untuk melihat pengaruh komposisi bahan baku terhadap karakteristik biobriket yang dihasilkan dan pengaruh komposisi perekat terhadap karakteristik biobriket yang dihasilkan.
1.3.  Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menghasilkan biobriket dengan pembakaran yang sempurna dan tidak menghasilkan asap. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh komposisi biobriket berdasarkan campuran cangkang kakao dan sampah organik juga  melihat pengaruh komposisi perekat terhadap karakteristik briket yang dihasilkan.
1.4.  Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan penyelesaian dari pencemaran lingkungan dan pengganti bahan bakar sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi untuk keperluan rumah tangga maupun industri. Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi bukan saja kepada pengembangan ilmu dan teknologi, tetapi juga dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat pedesaan untuk memenuhi penyediaan kebutuhan energi sebagai pengganti minyak tanah atau kayu bakar dan dapat mengurangi limbah padat hasil pertanian.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.  Biomassa
Biomassa merupakan produk fotosintesis, yakni butir-butir hijau daun yang bekerja sebagai sel-sel surya, menyerap energi matahari dan mengkonversikan karbon dioksida dengan air menjadi suatu senyawa karbon, hidrogen dan oksigen. Senyawa ini dapat dipandang sebagai suatu penyerapan energi yang dapat dikonversi menjadi suatu produk lain. Hasil konversi dari senyawa itu dapat berbentuk arang atau karbon, alkohol kayu, dan sebagainya (Kadir, 1982).
Biomassa merupakan segala jenis material organik yang tersedia dalam bentuk terbarukan, dimana di dalamnya termasuk tanaman dan limbah pertanian, kayu dan limbah hasil hutan, limbah hewan, tanaman akuatik, dan limbah domestik dan industri. Energi biomassa berarti energi kimia yang disimpan di dalam bahan organik dan berasal dari energi surya melalui fotosintesa. (Matsumura dkk, 2005).
Sumber biomassa yang banyak didapati berasal dari limbah pertanian/perkebunan dan hutan, seperti jerami, sekam padi, serbuk gergaji, tongkol jagung, ampas tebu, cangkang kakao, sabut dan cangkang kelapa sawit. Hasil limbah ini masih belum dimanfaatkan secara optimal dan masih banyak dibuang begitu saja. Biomassa tersebut sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar/sumber energi alternatif pengganti minyak tanah untuk kebutuhan masyarakat pada umumnya (Saptoadi, 2006 ; Kadir, 1982 ; Siemers, 2006 ; Supomo, 1978 dan Mahfud, 2006).
Khususnya dalam kasus pada limbah pertanian atau energi tumbuhan, yang secara periodik mengalami masa tumbuh dan pemanenan. Selama mengalami masa pertumbuhan tumbuhan maka akan menyerap CO2 dari atmosfer untuk fotosintesis, yang mana hal ini akan dilepaskan lagi apabila biomassa ini mengalami pembakaran lagi (Wether et al, 2000). Penggunaan biomassa sebagai sumber energi semakin menarik perhatian dunia karena ramah lingkungan (Coll dkk, 1998). Dalam kurun beberapa dekade terakhir, propaganda penggunaan biomassa sebagai pengganti bahan bakar fosil semakin gencar disuarakan, karena kelebihan-kelebihannya. Paling tidak ada 2 (dua) keuntungan utama yang diberikan oleh biomassa, yaitu yang pertama ketersediaanya yang tidak terbatas dan terbarukan, dan kedua penggunaannya tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan  (Nendel dkk., 1998). Selain itu, penggunaan biomassa juga dapat mereduksi kandungan CO2 di atmosfer (Gemtos dan Tsiricoglou, 1999). Dibandingkan dengan sumber energi terbarukan lainnya seperti energi surya dan tenaga angin, biomassa lebih murah dan mudah disimpan untuk waktu yang lama (Scholz dan Berg, 1998).
Di Indonesia, kontribusi pasokan energi nasional yang berasal dari biomassa relatif cukup besar yaitu sekitar 21,5% sebanding pasokan gas alam, LPG dan LNG, seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.1 (ESDM, 2004). Akan tetapi perlu dicatat, bahwa komposisi biomassa yang paling besar dalam angka 21,5% adalah kayu bakar dan limbah kelapa sawit yang dibakar langsung, sedangkan limbah biomassa pertanian seperti jerami dan sekam padi yang jumlahnya melimpah belum memberikan kontribusi sama sekali terhadap kebutuhan energi nasional.
Gambar 2.1. Pasokan energi utama Indonesia pada tahun 2003 (ESDM, 2004)

Apabila ketergantungan kita terhadap minyak bumi terus berlanjut, dikhawatirkan Indonesia akan menghadapi masalah energi yang serius, karena cadangan minyak bumi yang semakin menurun sehingga kita menjadi net importer minyak bumi. Dengan cadangan sebesar 8,6 miliar barel dan tingkat produksi sekitar 400 juta barel per tahun maka rasio antara cadangan dan produksi atau dengan kata lain cadangan minyak bumi akan habis dalam waktu sekitar 22 tahun (http://www.endonesia.com, 28/10/2009).

2.2.  Cangkang Kakao
Pada perkebunan kakao masyarakat, limbah kulit kakao selalu tersedia mengingat buah kakao pada perkebunan rakyat dapat dipanen sepanjang tahun. Kini, daya serap industri kakao domestik baru 27 persen. Terutama untuk industri bahan makanan dan kosmetika. Kandungan gizi kulit buah kakao terutama kandungan protein kasar yaitu 8,5 %.
 









(a)                                                                   (b)
Gambar 2.1. (a) buah kakao, (b) cangkang kakao

Salah satu pengolahan cangkang kakao yang telah dilakukan yaitu membuat untuk makanan ternak. Kulit buah kakao merupakan unsur pokok yang menjadi system pokok pakan ternak (Roesmanto, 1991). Adapun kandungan gizi kulit buak kakao dapat dilihat pada Tabel 2.1.




Tabel 2.1.  Kandungan Gizi Kulit Buah Kakao
Komponen
Smith dan Adegbola (1982)
Amirroenas(1990)
Roesmanto(1991)
• Bahan kering (%)
• Protein kasar (%)
• Lemak (%)
• Serat kasar (%)
• Abu (%)
• BETN (%)
• Kalsium (%)
• Pospor (%)
84,00 – 90,00
6,00 – 10,00
0,50 – 1,50
19,00 – 28,00
10,00 – 13,80
50,00 – 55,60
-
-
91,33
6,00
0,90
40,33
14,80
34,26
-
-
90,40
6,00
0,90
31,50
16,40
-
0,67
0,10

Tabel 2.2. Kandungan Theobromin dalam Bagian Buah Kakao
Bagian Buah Kakao
Kandungan theobromin (%)
- Kulit buah
- Kulit biji
- Biji
0,17 – 0,20
1,80 – 2,10
1,90 – 2,0
Sumber : Wong, dkk (1988)
Dari buah kakao yang sering dimanfaatkan adalah biji kakao, dan apabila pengolahannya kurang baik maka harganya pun akan rendah, dengan memanfaatkam limbah kulit buah kakao disamping dapat mengurangi limbah, petani dapat meraih keuntungan yang lebih besar.
2.3. Sampah Organik
Murtadho dan Said (1997) mengklasifikasikan sampah organik menjadi 2 (dua) kelompok yaitu :
1.      Sampah organik yang mudah membusuk (garbage) yaitu limbah padat semi basah berupa bahan-bahan organik yang berasal dari sektor pertanian dan pangan termasuk dari sampah pasar. Sampah ini mempunyai ciri mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah membusuk, karena mempunyai rantai kimia yang relatif pendek. Sampah ini akan menjijikkan jika sudah membusuk apalagi bila terkena genangan air sehingga masyarakat enggan menanganinya.
2.      Sampah organik yang tak mudah membusuk (rubish) yaitu limbah padat organik kerinyang sulit terurai oleh mikroorganisme sehingga sulit membusuk. Hal ini karena rantai kimia panjang dan kompleks yang dimilikinya, contoh dari sampah ini adalah kertas dan selulosa.

Penggunaan sampah sebagai bahan untuk membuat biobriket berangkat dari keprihatinan bahwa, semakin hari jumlah produksi sampah semakin banyak, bahkan di kota besar malah menimbulkan permasalahan yang berat dan berkepanjangan, dan tentunya semua kota yang berkembang akan menghadapi permasalahan ini. Upaya penggunaan sampah sebagai briket tidak akan dapat menyelesaikan permasalahan sampah secara keseluruhan dimana penyelesaian permasalahan sampah harus diselesaikan secara integralistik dari beberapa faktor, namun upaya ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi produksi sampah organik.
2.4.  Perekat
Perekat adalah suatu bahan yang ditambahkan  pada komposisi zat utama untuk memperoleh sifat-sifat tertentu, misalnya kekentalan (viskositas), ketahanan (stabilitas) dan sebagainya. Beberapa jenis perekat yang berfungsi menaikkan viskositas adalah Carboxy Menthyl Cellulosa (CMC), gypsum, kanji, gliseral, clay, biji jarak/jatropha dan sebagainya. Adapun penambahan perekat pada campuran briket biomassa adalah selain bahan yang didapat itu mudah dan terbarukan, juga bisa berfungsi untuk membantu penyulutan awal dan sekaligus perekat terhadap pembriketan biomassa.
Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar atau tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Amilum juga tersimpan dalam bahan makanan cadangan yang permanen untuk tanaman, dalam biji, jari – jari teras, kulit batang dan akar tanaman menahun dan umbi. Amilum merupakan 50 – 65 % berat kering biji gandum dan 80 % bahan kering umbi kentang (Gunawan, 2004).
Banyak sekali bahan yang biasa digunakan untuk perekat. Asalkan bahan tersebut memiliki sifat lengket atau mampu merekatkan bahan lainnya. Tetapi perlu diingat bahwa bahan yang digunakan sebagai perekat tersebut tidak berbahaya untuk produksi. Beberapa bahan yang dapat dan biasa digunakan sebagai perekat antara lain adalah :
a.       Bahan organik : molasses dan tepung tapioca
b.      Bahan mineral : bentonit, kaoline, kalsium untuk semen, dan gypsum
c.       Tanah liat juga bisa digunakan sebagai perekat (Gunawan, 2004).
2.4.1. Tepung Tapioka
Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Dibandingkan dengan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu, komposisi zat gizi tepung tapioka cukup baik sehingga mengurangi kerusakan tenun, juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna putih.
Ampas tapioka banyak dipakai sebagai campuran makanan ternak. Pada umumnya masyarakat kita mengenal dua jenis tapioka, yaitu tapioka kasar dan tapioka halus. Tapioka kasar masih mengandung gumpalan dan butiran ubi kayu yang masih kasar, sedangkan tapioka halus merupakan hasil pengolahan lebih lanjut dan tidak mengandung gumpalan lagi.
Kualitas tapioka sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu :
  1. Warna Tepung; tepung tapioka yang baik berwarna putih.
  2. Kandungan Air; tepung harus dijemur sampai kering benar sehingga kandungan airnya rendah.
3.      Banyaknya serat dan kotoran; usahakan agar banyaknya serat dan kayu yang digunakan harus yang umurnya kurang dari 1 tahun karena serat dan zat kayunya masih sedikit dan zat patinya masih banyak (Margono dkk, 1993).
2.5. Biobriket
Biobriket merupakan salah satu sumber energi alternatif yang dapat digunakan untuk menggantikan sebagian dari kegunaan minyak tanah. Biobriket merupakan bahan bakar yang berwujud padat dan berasal dari sisa-sisa bahan organik. Bahan baku pembuatan arang biobriket pada umumnya berasal dari, tempurung kelapa, serbuk gergaji, dan bungkil sisa pengepresan biji-bijian.

2.5.1.       Jenis dan bentuk briket biomassa
Jenis briket yang dimasyarakatkan sampai saat ini ada dua bentuk briket, yaitu:
a.         bentuk bantal, jengkol dan telur; untuk mendapatkan briket dalam bentuk ini diperlukan semacam mesin pengepresan double roll.
b.        bentuk sarang tawon; bentuknya bervariasi mulai dari silinder, segi lima atau segi empat dan berlubang-lubang untuk memudahkan sirkulasi udara pada saat pembakarannya (Basyuni dkk, 1993, Indra, 1999, Najib, 1998).

2.5.2.       Kriteria briket biomassa
Sebagai bahan bakar untuk rumah tangga dan industri kecil, briket biomassa harus dapat memenuhi kriteria sebagai berikut :
1.      Mudah dinyalakan
2.      Tidak mengeluarkan asap yang berlebihan (smokeless)
3.      Emisi gas hasil pembakaran tidak mengandung racun secara fisik harus kuat atau tidak mudah pecah untuk memudahkan dalam penanganan dan pengangkutan sampai radius maksimum 200 km
4.      Kedap air dan tidak berjamur atau tidak mengalami degradasi jika disimpan dalam kurun waktu yang lama
5.      Menunjukkan unjuk kerja pembakaran (waktu, laju pembakaran dan suhu puncak pembakaran) yang baik
6.      tidak berbau (oderless)
7.      efisiensi pancaran panasnya tinggi,
8.      teksturnya sebaiknya seragam,
9.      kadar abu sebaiknya dibawah 8 %,
10.  kadar zat terbang tidak kurang dari 3 % dan tidak lebih besar dari 20 % (Indra, 1999;  Najib, 1998;  Stefano, 1993).

2.6.  Proses Pembuatan Briket
a.      Proses penggerusan
Ukuran yang dikehendaki dalam pembuatan briket adalah lolos saringan dengan ukuran < 3 mm (Indra, 1999). Untuk menghasilkan biomassa dengan ukuran yang dimaksud, digunakan mesin penggerus dengan kapasitas dan distribusi ukuran yang tepat seperti terlihat pada Gambar 2.2

 
Gambar 2.2. Alat penggerusan

b.      Proses pencampuran dan pembuatan adonan
Proses pencampuran bahan baku biomassa ukuran < 3 mm dengan bahan pengikat (suspensi biji jarak yang telah digrinding dengan ukuran yang sama) dilakukan dengan menggunakan mixer (Gambar 2.3) agar diperoleh kondisi adonan yang homogen.

           
            Gambar 2.3. Alat pengaduk (mixer)

c.   Pembuatan briket dan pengepresan
            Campuran biomassa yang telah diaduk sampai homogen kemudian dibriket berbentuk selinder atau kubus.  Karena adanya perekat dalam campuran biomassa tersebut, maka pembriketan hanya dibutuhkan tekanan pengepresan yang rendah, yaitu 200 kg/cm3 (Suprapto, 2006). Meskipun demikian, mengingat biomassa bersifat mudah meregang (plastisitas tinggi), maka pada proses pembriketannya tidak cukup hanya dengan menambahkan bahan pengikat, namun juga memerlukan tekanan pengepresan yang tinggi, sekitar 2 ton/cm2 (Permen ESDM, 2006). Selanjutnya tinggi rendahnya kadar air dan kehalusan penggerusan biomassa sangat berpengaruh terhadap tingkat pengepresan (Yaman dkk, 2001). Bentuk alat pembriketan ditunjukkan oleh Gambar 2.4

           
            Gambar 2.4. Alat pembriketan

d.   Pengeringan
Produk briket biomassa yang keluar dari mesin pencetak masih mempunyai kandungan air yang tinggi. Untuk mengurangi kandungan air tersebut sampai < 7,5 %, maka cukup dikeringkan di udara terbuka untuk menguapkan sebagian kandungan airnya. Pada proses pengeringan biasanya digunakan alat pengering dengan sistem aliran udara panas yang dihasilkan dari pembakaran biomassa yang dialirkan ke dalam ruang pengering/oven dengan bantuan blower  (Najib dkk, 2005).



BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu
            Penelitian akan ini dilakukan di Laboratorium Sumber  Daya dan Energi Jurusan Teknik Kimia dan Laboratorium Produksi Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik. Penelitian ini akan dilakukan selama enam bulan termasuk penyusunan laporan.
3.2. Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1. Alat
a. Crusher
b. Ayakan (test sieve, ukuran 15, 25, 35, dan 50 mesh)
c. Mixer
d. Alat pembriketan spesifikasi: elektrik punching press (capacity 0,5- 400 kN)
e. Tox Pressotechnik
f. Termometer
g. Stopwatch
h. Timbangan digital Explorer Pro maksimum: 110 gram, Panci
i. Stop watch
j. Gelas ukur.

3.2.2. Bahan
            Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkang kakao (diambil dari limbah perkebunan Saree-Aceh Besar), tepung tapioka (komersial).

3.3. Variabel Penelitian
3.3.1. Variabel Tetap
            - Ukuran partikel
- Bentuk briket
- Tekanan pengepresan
3.3.2. Variabel Berubah
            - Komposisi bahan baku (cangkang kakao dan sampah)
            - Komposisi perekat
3.4. Rancangan Percobaan
Variable yang ingin diteliti yaitu perbandingan komposisi campuran biomassa terdiri dari 3 perbandingan yaitu A1 = 50:50 %; A2 = 75:25%; A3 = 90:10%, sedangkan untuk perbandingan campuran biomassa dengan perekat yaitu B1 = 90:10 %; B2 = 80:20 %; dan B3 = 70:30 % kombinasi perlakuan adalah 3 x 3 = 9 dengan ulangan 2 kali sehingga diperoleh 18 satuan percobaan.
Tabel 3.1.  Rancangan Percobaan Penelitian
Komposisi Campuran Biomassa (%)
Komposisi Perekat (%)
Cangkang Kakao (%)
Sampah Organik (%)
10
(B1)
20
(B2)
30
(B3)
50
(A1)
50
(A1)
A1 B1
A1 B1
A1 B2
A1 B2
A1 B3
A1 B3
75
(A2)
25
(A2)
A2 B1
A2 B1
A2 B2
A2 B2
A2 B3
A2 B3
90
(A3)
10
(A3)
A3 B1
A3 B1
A3 B2
A3 B2
A3 B3
A3 B3

3.5. Prosedur Penelitian
3.5.1. Persiapan bahan baku
            Bahan baku yang digunakan untuk penelitian diambil berupa cangkang kakao dan sampah organik. Untuk mempermudah proses pengayakan bahan baku terlebih dahulu dikeringkan dan sebagian dikarbonisasi seterusnya dihancurkan dengan menggunakan crusher/mill. Hasil gilingan diayak dengan menggunakan sieve vibrator sampai mencapai ukuran yang telah ditentukan.
3.4.2.  Prosedur Percobaan
Biomassa yang telah diayak sesuai dengan ukuran yang ditentukan dicampurkan dengan tepung tapioka sebagai perekat ukurannya juga disesuaikan dengan biomassa. Campuran biomassa dan tepung tapioka yang telah dihaluskan tersebut di campur secara merata dengan menggunakan mixer. Campuran dari biomassa dan tepung tapioka tersebut dimasukkan ke dalam alat pencetak dengan tekanan pengepresan yang ditentukan. Secara skematis prosedur percobaan ditunjukkan pada gambar 3.1.
 










Gambar 3.1.  Proses Pembuatan Briket


3.5.  Pengujian Biomassa
3.5.1. Uji Kalor
Pengukuran nilai kalor pembakaran dilakukan pada akir penelitian guna melihat nilai kalor yang terbaik dari berbagai variasi yang dilakukan. Abu hasil pembakaran briket tersebut digunakan untuk analisa kalor menggunakan alat DSC – 60. Saat dilakukan uji nilai kalor digunakan sampel reference berupa alumina silika.
3.5.2. Uji Kuat Tekan
Uji kuat tekan dilakukan untuk mengetahui kekuatan dari biobriket yang dihasilkan untuk menahan beban tertentu.
3.5.3. Uji Index Shatter
                Pada percobaan uji index shatter digunakan media air untuk merendam briket dengan volume sebesar 500 ml. Digunakan air dengan suhu kamar, selanjutnya ditunggu sampai struktur briket perlahan – lahan hancur (Yaman, 2000).
3.6. Jadwal Kegiatan
            Adapun jadwal pelaksanaan penelitian pembuatan briket biomassa dilakukan ditunjukkan pada tabel 3.2.
Tabel 3.2.  Jadwal Penelitian
No
Kegiatan
Bulan ke-
1
2
3
4
5
1
Pengadaan peralatan dan bahan





2
Setup alat penelitian/ Analisa sampel





3
Eksperimen





4
Pengumpulan data





5
Pengolahan data/analisis penelitian





6
Pembuatan/penyusunan laporan







2 komentar:

  1. makasih infonya.... minta izin untuk penerapan dilapangan... kebetulan sulawesi barat juga sentra kakao... jadi ilmu yang bermanfaat untuk bisa diterapkan di sulawesi barat... semoga bisa menjadi amal jariyah bagi anda...

    BalasHapus
  2. Ide yang bagus untuk pemanfaatan limbah

    BalasHapus